Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TUBAN
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2020/PN Tbn ACHMAD INDHOFIQ POLRES TUBAN Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 24 Feb. 2020
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penghentian penyidikan
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2020/PN Tbn
Tanggal Surat Jumat, 14 Feb. 2020
Nomor Surat -
Pemohon
Termohon
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Achmad Indhofiq Saya warga yang beralamat desa Bunut, kecamatan widang, kabupaten Tuban, HP. 0821-3215-1387, Email : achmadindhofiq@gmail.com.

Dalam hal ini saya bertindak berdasarkan pribadi saya dan saksi. Khusus tertanggal 14 Februari 2020, baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama Achmad Indhofiq, selanjutnya disebut sebagai PEMOHON 

——————————–M E L A W A N——————————–

DITRESKRIMSUS POLRES TUBAN yang beralamat di Jl. Dokter Wahidin SH, sidorejo, kecamatan Tuban, Kabupaten Tuban, Jawa Timur 62313 selanjutnya disebut sebagai TERMOHON 

untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap putusan mengeluarkan SP2HP yang berisi surat pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3) menurut Standard Operational Prosedur (SOP) tidak sesuai dengan PERKAPOLRI Nomor 12 tahun 2009 tentang “PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PENANGANAN PERKARA PIDANA DILINGKUNGAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA.” Dan disebutkan di Pasal 14 Ayat 1 “Setiap Laporan/Pengaduan harus diproses secara profesional, proporsional, objektif, transparan, dan akuntabel melalui penyelidikan dan penyidikan.”

Tidak sesuai dengan PERKAPOLRI Nomor 14 tahun 2012 tentang “MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA” Dan disebutkan di Pasal 3 Huruf d & e tentang “Prosedural dan Transparan”.

Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

  1. Tindakan penghentian penyidikan tindak pidana yang tidak sesuai dengan Standard Operational Prosedur (SOP) PERKAPOLRI Nomor 12 tahun 2009 yang dimana disebutkan dalam Pasal 14 Ayat 1 dan PERKAPOLRI Nomor 14 tahun 2012 yang dimana disebutkan dalam Pasal 3 Huruf d & e. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai pelapor  dalam mengawal uang dana desa tepat dan sesuai sasarannya. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak pelapor. Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penghentian penyidikan tindak pidana yang tidak sesuai.

 

  1. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
  1. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
  1. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan (pelapor) tidak dapat klarifikasi undangan gelar perkara sebelum keluarnya Surat Pemberitahuan Pemberhentian Penyidikan (SP3), tidak memperoleh penjelasan yang dimaksud dari SP2HP seperti Lampiran terhadap pelapor. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini. sehingga meningkatkan kepercayaan masyarakat (Trust Building) yang pada akhirnya akan menumbuh kembangkan peran serta masyarakat (Partnership Building) dalam mendukung pencapaian penegakan hukum.

 

  1. Bahwa selain itu Berdasarkan surat pengaduan saya tanggal 18 mei 2019 tentang perkara dugaan tindak pidana penyelewengan dana desa (DD) dengan anggaran th 2018 didesa bunut kecamatan widang kabupaten tuban jawa timur. Saya menerima pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan :
  1. Tanggal 15 juli 2019

Dengan nomor B/191/VII/2019/Satreskrim

Penyelidik : IPDA EDI SISWANTO, SH

(keterangan terlampir)

 

  1. Tanggal 24 oktober 2019

Dengan nomor B/346/X/2019/Satreskrim

Penyelidik : IPDA MUH YUSUH, SH

(keterangan terlampir)

 

  1. Tanggal 14 januari 2020

Dengan nomor B/24/I/2020/Satreskrim

Penyelidik : IPDA MUH YUSUH, SH

DENGAN HASIL PENYELIDIKAN TIDAK MENUNJUKKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA (DESA BUNUT) SELANJUTNYA PENYELIDIKAN DI BERHENTIKAN.

Disini saya ingin menindak lanjuti laporan saya dari tanggal 15 juli 2019 sampai menerima SP2HP tanggal 14 januari 2020 saya tidak pernah diberikan hasil klarifikasi mengenai surat yang diajukan POLRES ke APIP, ataupun hasil penyelidikan INSPEKTORAT kabupaten tuban yang sudah berkoordinasi dengan jaksa penuntut umum (JPU). Dan pada tanggal 14 januari 2020 saya menerima SP2HP yang dinyatakan penyelidikan diberhentikan.

 

  1. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Mengadili,

Menyatakan :

  1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
    • [dst]
    • [dst]
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Putusan Sah atau Tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak sesuai dengan ketetapan hukum atau cacat hukum sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Putusan Sah atau Tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  1. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. Pada Tanggal 14 Februari 2020 mengadukan bahwa Penetapan putusan sah atau tidaknya pemberhentian penyidikan merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

 

 

II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

1. PEMOHON TIDAK PERNAH DIHADIRKAN DAN DIIKUT SERTAKAN SAAT GELAR PERKARA

  1. Bahwa PEMOHON tidak diberikan pertimbangan-pertimbangan dilakukannya penghentian penyidikan. Seharusnya sebelum Penyidik Mengirimkan SP2HP kepada pelapor tentang penghentian penyidikan yang dilakukan dengan memberikan pertimbangan pertimbangan dilakukannya penghentian penyidikan sesuai dengan Standard Operational Prosedur (SOP) yang ada.
  2. Bahwa PEMOHON tidak mendapatkan tanda terima dan tidak diberikannya tanda terima pengaduan masyarakat dari TERMOHON.
  3. Bahwa PEMOHON tidak pernah dihadirkan dan diikut sertakan saat gelar perkara untuk mengetahui hasilnya.
  4. Bahwa PEMOHON sudah mengetahui sebelumnya surat ini turun Dengan nomor B/191/VII/2019/Satreskrim jumlah kerugian yang dinyatakan oleh pihak APIP ke TERMOHON dengan kata selisih bayar (administrasi) dengan jumlah nominal Rp. 32.000.000,- . tetapi saat SP2HP Dengan nomor B/24/I/2020/Satreskrim yang berisi surat pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3) diterima PEMOHON, tidak dilampiri yang sebagaimana sesuai dengan Standard Operational Prosedur (SOP) yang ada seharusnya PEMOHON diberi pertimbangan-pertimbangan paling tidak dengan melampiri lampiran tembusan dari APIP yang menguatkan terbitnya surat pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3).
  5. Bahwa jika kasus dugaan tindak pidana korupsi ini dihentikan oleh TERMOHON tanpa alasan yang jelas. Maka dalam KUHAP dapat dilakukan permohonan praperadilan.
  6. Dengan demikian jelas tindakan Termohon tidak sesuai dengan peraturan kepolisian republik indonesia yang dimana diatur dengan nomor 12 tahun 2009 tantang “pengawasan dan pengendalian penanganan perkara pidana dilingkungan polri” yang tercantum di pasal 14 ayat 1Setiap Laporan/Pengaduan harus diproses secara profesional, proporsional, objektif, transparan, dan akuntabel melalui penyelidikan dan penyidikan”. Dan Tidak sesuai dengan PERKAPOLRI Nomor 14 tahun 2012 tentang “MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA” Dan disebutkan di Pasal 3 Huruf d & e tentang “Prosedural dan Ketransparanan”. Merupakan tindakan yang tidak sah, dan cacat hukum maka dari itu harus dibatalkan tentang penetapan putusan terbitnya surat pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3) terhadap Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.  

 

  1. PENETAPAN KELUARNYA SURAT PEMBERITAHUAN PENGHENTIAN PENYELIDIKAN (SP3) KEPADA PEMOHON MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
  1. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
  2. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

 

  1. Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’
  2. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
  3. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :

ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

– dibuat sesuai prosedur; dan

– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.

  1. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :
  • “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
  • Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan
  1. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

 

III. PETITUM

Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tuban yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

  1. Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan tindakan Termohon terhadap putusan mengeluarkan SP2HP yang berisi surat pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3) menurut Standard Operational Prosedur (SOP) tidak sesuai dengan PERKAPOLRI Nomor 12 tahun 2009 tentang “PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PENANGANAN PERKARA PIDANA DILINGKUNGAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA.” Dan disebutkan di Pasal 14 Ayat 1 “Setiap Laporan/Pengaduan harus diproses secara profesional, proporsional, objektif, transparan, dan akuntabel melalui penyelidikan dan penyidikan.”. Dan Tidak sesuai dengan PERKAPOLRI Nomor 14 tahun 2012 tentang “MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA” Dan disebutkan di Pasal 3 Huruf d & e tentang “Prosedural dan Transparan”.
  3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan mengeluarkan SP2HP yang berisi surat pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3) menurut Standard Operational Prosedur (SOP) atas diri Pemohon oleh Termohon;
  4. Memerintahkan kepada Termohon untuk menindak lanjuti Standard Operational Prosedur (SOP) sebelum mengeluarkan SP2HP yang berisi surat pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3) terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
  5. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;

PEMOHON  sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tuban yang memeriksa Permohonan A quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

 

Pihak Dipublikasikan Ya